Gede Prama:Meledakkan Kemelekatan.
Kebenaran itu mengerikan, mungkin itu warna dominan interaksi antarmanusia di awal abad ke-21. Yakin benar lalu melakukan pembunuhan.
Amerika Serikat dan sekutunya yakin benar, maka berani menyerang Afganistan dan Irak. Teroris yakin benar, maka bom diledakkan. India-Pakistan, Palestina-Israel, Korea Utara-Korea Selatan hanya contoh bagaimana kebenaran diikuti kebencian.
Jadi, dalam totalitas, terjadilah kebenaran berwajah mengerikan. Apabila ditelusuri, ideologi dan agama khususnya kerap digunakan sebagai baju luar dari badan asli yang bernama kemelekatan. Ada kemelekatan harga diri, ketidakadilan, dendam. Inilah yang menghasilkan kehidupan mengerikan.
Meledakkan kemelekatan
Lama disadari di Timur, kemelekatan adalah awal kemelaratan. Karena itu, dalam sebagian kearifan Timur, kemelekatan menjadi fokus yang diledakkan. Zen adalah salah satunya.
Dari sejarahnya, bibit Zen berasal dari India, tumbuh di China, berbunga di Jepang. Ada yang mengaitkan Zen dengan Buddha, ada yang tanpa embel-embel agama. Apa pun keterkaitannya, Zen bertemakan satu: meledakkan kemelekatan. Mungkin karena berbunga di Jepang, lalu hampir semua yang diledakkan Zen berbau Buddha.
Zen sebenarnya lebih cocok dengan jiwa yang sudah dewasa. Namun, karena kedewasaan mudah tergelincir pada kemelekatanlah, dibutuhkan peledakan. Dalam sejarah Zen, banyak guru mengalami pencerahan setelah diledakkan oleh cerita-cerita Zen seperti di bawah.
Bagi jiwa yang kearifannya masih memerlukan banyak pertumbuhan, Zen bisa mengundang ketersinggungan. Untuk itu, tulisan ini belum-belum sudah minta maaf. Memaafkan adalah salah satu sifat mulia Buddha dan tokoh suci lainnya.
Cerita Zen pertama. Suatu hari ada pendeta Zen kedinginan. Semua kayu bakar sudah habis. Dengan enteng, diambilnya patung Buddha dari kayu lalu dibakar. Kontan saja ini mengundang marah orang: berani-beraninya membakar patung Buddha? Pendeta ini menjawab, “Yang masih bisa terbakar bukan Buddha”.
Tidak saja dalam Zen, di banyak negara, keseharian manusia ditandai mudah terbakarnya emosi gara-gara agama dan lainnya. Karena berbagai faktor, ada manusia yang begitu melekat dengan agama. Sedikit-sedikit tersinggung. Maka, agama bukan sebagai sumber kesejukan, tetapi sumber api yang membakar. Dengan indah, kemelekatan ini diledakkan, “yang masih bisa terbakar hanya kepalsuan”.
Cerita Zen kedua. Suatu kali ada raja yang telah membangun tidak terhitung jumlah tempat ibadah, datang ke Budhidharma. Dengan bangga, raja bertanya, saya sudah membangun ratusan tempat ibadah, berapa pahalanya? Tanpa menoleh, Bodhidharma menjawab, “Tidak ada pahala-pahalaan!”
Inilah persoalan kekinian. Berbuat namun melekat. Tentu saja ada pahala karena ini hukum alam. Tetapi, melekat jika tindakan harus diikuti pahala, bertindak membuat pelakunya tidak bebas, kotor dengan ego, salah-salah kecewa. Ini yang diledakkan Budhidharma dengan: “berbuat, lepas, ikhlas”.
Cerita Zen ketiga. Suatu hari dua pendeta Zen berjalan di tengah hutan. Tiba-tiba pendeta Zen yang lebih tua mau kencing. Dengan tanpa beban, pendeta tua kencing di sebelah patung Buddha. Tentu saja yang muda marah. Tanpa menoleh seinci pun pendeta tua bertanya, tunjukkan saya tempat di mana tidak ada Buddha? Tentu saja dijawab standar jika semua tempat adalah Buddha. Dengan enteng pendeta tua bertanya balik, “Kalau begitu, saya kencing di mana dong?”
Menganggap atribut agama sebagai sesuatu yang suci tentu baik. Namun, melekat berlebihan pada konsep kesucian, lalu memproduksi kekotoran batin, tentu layak direnungkan. Terutama karena kesucian tidak diciptakan untuk menghasilkan kemarahan/permusuhan. Lebih-lebih jika konsep kesucian menghasilkan pembunuhan. Kesucian juga mengerikan. Kemelekatan ini yang diledakkan cerita Zen ketiga, kesucian ada karena ada kekotoran, tanpa kekotoran kesucian menghilang. Totalitas dari keduanya itulah yang membebaskan.
Cerita Zen keempat. Sudah lama orang disuruh bertanya, bagaimana suara tepuk tangan yang dilakukan oleh sebelah tangan? Kendati sudah berumur ratusan tahun, sampai kini pertanyaan ini masih terbuka. Seperti menitipkan makna, tidak semua pertanyaan bisa dijawab pikiran.
Jika ada yang belum bisa dimengerti, mungkin ia jauh di atas kemampuan pikiran untuk bisa mengerti. Atau sebaliknya, terlalu sederhana untuk bisa memuaskan kerumitan pikiran. Penghakiman berlebihan membuat pertumbuhan terhenti. Untuk itu, ia diledakkan, biarkan terbuka, masuki gerbang kebebasan.
Menghasilkan keindahan
Mungkin karena terlepas dari kemelekatan, lalu sejumlah sahabat Sufi membingkai hidupnya dengan keindahan. Praktisi Sufi, Hazrat Hinayat Khan, dalam The Heart of Sufism menulis, “indifference and independence are two wings which enable the soul to fly”. Ketidakmelekatan serta kebebasan adalah dua sayap yang membuat jiwa terbang.
Wayne W Dyer dalam Spiritual Solutions, mengulas doa Santo Fransiskus yang amat indah. Lord, make me an instrument of Thy peace… where there’s hatred, let me sow love….where there’s sadness, joy. Hidup jadi indah, indah, indah, dan indah bila menerapkan doa-doa ini.
Murid-murid di jalan advaita vedanta sudah lama diajari untuk terfokus pada sat cit ananda (kebenaran, kesadaran, keindahan abadi) sebagai fokus perjalanan. Sederhananya, keindahan adalah hasil ikutan ditemukannya kebenaran dan dipraktikkannya kesadaran. Selain itu, keindahan adalah ibu kebersatuan.
Buddha Gautama berpesan, babarkan Dharma yang indah di awal, indah di tengah, indah di akhir. Buddhadasa pernah mengajarkan, inti ajaran Buddha adalah melihat semua sebagaimana adanya. Jika semua sudah sempurna seperti adanya, bukankah kehidupan adalah keindahan?
Di pengujung cerita meledakkan kemelekatan menghasilkan keindahan, layak direnungkan, wajah kebenaran dan kesucian yang mengerikan. Zen sudah meledakkan kemelekatan sebagai inti semua ini. Setelah kemelekatan diledakkan, ternyata oleh keikhlasan dibukakan keindahan. Ini sebabnya orang-orang di jalan ini berbisik, “God is beautiful, that’s why He loves beauty.”
Ini yang kerap disebut the religion of beauty. Mudah-mudahan keindahan tidak menjadi kemelekatan baru.
Penulis Artikel:Gede Prama
Kebenaran itu mengerikan, mungkin itu warna dominan interaksi antarmanusia di awal abad ke-21. Yakin benar lalu melakukan pembunuhan.
Amerika Serikat dan sekutunya yakin benar, maka berani menyerang Afganistan dan Irak. Teroris yakin benar, maka bom diledakkan. India-Pakistan, Palestina-Israel, Korea Utara-Korea Selatan hanya contoh bagaimana kebenaran diikuti kebencian.
Jadi, dalam totalitas, terjadilah kebenaran berwajah mengerikan. Apabila ditelusuri, ideologi dan agama khususnya kerap digunakan sebagai baju luar dari badan asli yang bernama kemelekatan. Ada kemelekatan harga diri, ketidakadilan, dendam. Inilah yang menghasilkan kehidupan mengerikan.
Meledakkan kemelekatan
Lama disadari di Timur, kemelekatan adalah awal kemelaratan. Karena itu, dalam sebagian kearifan Timur, kemelekatan menjadi fokus yang diledakkan. Zen adalah salah satunya.
Dari sejarahnya, bibit Zen berasal dari India, tumbuh di China, berbunga di Jepang. Ada yang mengaitkan Zen dengan Buddha, ada yang tanpa embel-embel agama. Apa pun keterkaitannya, Zen bertemakan satu: meledakkan kemelekatan. Mungkin karena berbunga di Jepang, lalu hampir semua yang diledakkan Zen berbau Buddha.
Zen sebenarnya lebih cocok dengan jiwa yang sudah dewasa. Namun, karena kedewasaan mudah tergelincir pada kemelekatanlah, dibutuhkan peledakan. Dalam sejarah Zen, banyak guru mengalami pencerahan setelah diledakkan oleh cerita-cerita Zen seperti di bawah.
Bagi jiwa yang kearifannya masih memerlukan banyak pertumbuhan, Zen bisa mengundang ketersinggungan. Untuk itu, tulisan ini belum-belum sudah minta maaf. Memaafkan adalah salah satu sifat mulia Buddha dan tokoh suci lainnya.
Cerita Zen pertama. Suatu hari ada pendeta Zen kedinginan. Semua kayu bakar sudah habis. Dengan enteng, diambilnya patung Buddha dari kayu lalu dibakar. Kontan saja ini mengundang marah orang: berani-beraninya membakar patung Buddha? Pendeta ini menjawab, “Yang masih bisa terbakar bukan Buddha”.
Tidak saja dalam Zen, di banyak negara, keseharian manusia ditandai mudah terbakarnya emosi gara-gara agama dan lainnya. Karena berbagai faktor, ada manusia yang begitu melekat dengan agama. Sedikit-sedikit tersinggung. Maka, agama bukan sebagai sumber kesejukan, tetapi sumber api yang membakar. Dengan indah, kemelekatan ini diledakkan, “yang masih bisa terbakar hanya kepalsuan”.
Cerita Zen kedua. Suatu kali ada raja yang telah membangun tidak terhitung jumlah tempat ibadah, datang ke Budhidharma. Dengan bangga, raja bertanya, saya sudah membangun ratusan tempat ibadah, berapa pahalanya? Tanpa menoleh, Bodhidharma menjawab, “Tidak ada pahala-pahalaan!”
Inilah persoalan kekinian. Berbuat namun melekat. Tentu saja ada pahala karena ini hukum alam. Tetapi, melekat jika tindakan harus diikuti pahala, bertindak membuat pelakunya tidak bebas, kotor dengan ego, salah-salah kecewa. Ini yang diledakkan Budhidharma dengan: “berbuat, lepas, ikhlas”.
Cerita Zen ketiga. Suatu hari dua pendeta Zen berjalan di tengah hutan. Tiba-tiba pendeta Zen yang lebih tua mau kencing. Dengan tanpa beban, pendeta tua kencing di sebelah patung Buddha. Tentu saja yang muda marah. Tanpa menoleh seinci pun pendeta tua bertanya, tunjukkan saya tempat di mana tidak ada Buddha? Tentu saja dijawab standar jika semua tempat adalah Buddha. Dengan enteng pendeta tua bertanya balik, “Kalau begitu, saya kencing di mana dong?”
Menganggap atribut agama sebagai sesuatu yang suci tentu baik. Namun, melekat berlebihan pada konsep kesucian, lalu memproduksi kekotoran batin, tentu layak direnungkan. Terutama karena kesucian tidak diciptakan untuk menghasilkan kemarahan/permusuhan. Lebih-lebih jika konsep kesucian menghasilkan pembunuhan. Kesucian juga mengerikan. Kemelekatan ini yang diledakkan cerita Zen ketiga, kesucian ada karena ada kekotoran, tanpa kekotoran kesucian menghilang. Totalitas dari keduanya itulah yang membebaskan.
Cerita Zen keempat. Sudah lama orang disuruh bertanya, bagaimana suara tepuk tangan yang dilakukan oleh sebelah tangan? Kendati sudah berumur ratusan tahun, sampai kini pertanyaan ini masih terbuka. Seperti menitipkan makna, tidak semua pertanyaan bisa dijawab pikiran.
Jika ada yang belum bisa dimengerti, mungkin ia jauh di atas kemampuan pikiran untuk bisa mengerti. Atau sebaliknya, terlalu sederhana untuk bisa memuaskan kerumitan pikiran. Penghakiman berlebihan membuat pertumbuhan terhenti. Untuk itu, ia diledakkan, biarkan terbuka, masuki gerbang kebebasan.
Menghasilkan keindahan
Mungkin karena terlepas dari kemelekatan, lalu sejumlah sahabat Sufi membingkai hidupnya dengan keindahan. Praktisi Sufi, Hazrat Hinayat Khan, dalam The Heart of Sufism menulis, “indifference and independence are two wings which enable the soul to fly”. Ketidakmelekatan serta kebebasan adalah dua sayap yang membuat jiwa terbang.
Wayne W Dyer dalam Spiritual Solutions, mengulas doa Santo Fransiskus yang amat indah. Lord, make me an instrument of Thy peace… where there’s hatred, let me sow love….where there’s sadness, joy. Hidup jadi indah, indah, indah, dan indah bila menerapkan doa-doa ini.
Murid-murid di jalan advaita vedanta sudah lama diajari untuk terfokus pada sat cit ananda (kebenaran, kesadaran, keindahan abadi) sebagai fokus perjalanan. Sederhananya, keindahan adalah hasil ikutan ditemukannya kebenaran dan dipraktikkannya kesadaran. Selain itu, keindahan adalah ibu kebersatuan.
Buddha Gautama berpesan, babarkan Dharma yang indah di awal, indah di tengah, indah di akhir. Buddhadasa pernah mengajarkan, inti ajaran Buddha adalah melihat semua sebagaimana adanya. Jika semua sudah sempurna seperti adanya, bukankah kehidupan adalah keindahan?
Di pengujung cerita meledakkan kemelekatan menghasilkan keindahan, layak direnungkan, wajah kebenaran dan kesucian yang mengerikan. Zen sudah meledakkan kemelekatan sebagai inti semua ini. Setelah kemelekatan diledakkan, ternyata oleh keikhlasan dibukakan keindahan. Ini sebabnya orang-orang di jalan ini berbisik, “God is beautiful, that’s why He loves beauty.”
Ini yang kerap disebut the religion of beauty. Mudah-mudahan keindahan tidak menjadi kemelekatan baru.
Penulis Artikel:Gede Prama